Kamis, 10 Juni 2010

Motif Dayak asli

Tattoo suku Dayak



JANGAN kaget jika masuk ke perkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian tubuhnya. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekadar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan. Tetapi, tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam. TATO bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat sembarangan. Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang ditato maupun penempatan tatonya. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai "obor" dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian. Karena itu, semakin banyak tato, "obor" akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang.
Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan-aturan adat. Tiap suku sub dayak mempunyai cara yang berbeda untuk mentato.
Bagi suku Dayak yang bermukim di perbatasan Kalimantan dan Sarawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan. Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampung memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampung. Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa ratusan bahkan ribuan kilometer, dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan! Bisa pula tato diberikan kepada para bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan. Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunannya ditato dengan motif "dunia atas" atau sesuatu yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen). Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi mengayau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa. Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya ditempatkan di pundak kanan.
Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika keberaniannya "biasa", dan di lengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan pertempuran sangat luar biasa. "Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa dan banyak berjasa," tutur Simon Devung, seorang ahli Dayak dari Central for Social Forestry (CSF) Universitas Mulawarman Samarinda.
TATO atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki-laki, tato bisa dibuat di bagian mana pun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan. Jika pada laki-laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius.
"Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh-roh jahat dan selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa," ujar Yacobus Bayau Lung. Pada subsuku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga diri perempuan, sehingga dikenal istilah tedak kayaan, yang berarti perempuan tak bertato dianggap lebih rendah derajatnya dibanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini hanya berlaku di sebagian kecil subsuku Dayak. Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya di sandang perempuan, antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh paha. Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat di sebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato maupun keluarganya. Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada di sekitar ruas jari disebut song irang atau tunas bambu. Adapun yang melintang di belakang buku jari disebut ikor. Tato di pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau. Ada pula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki tato di bagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang di bagian bawah betis. Motif tato di bagian paha biasanya juga menyerupai silong lejau. Perbedaannya dengan tato di tangan, ada garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge. Tato sangat jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagian lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato di badan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu. Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam. "Karena itu, tato yang dibuat warna-warni, ada hijau, kuning dan merah, pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filososfis yang tinggi," ucap Yacobus Bayau Lung.
Tato warna-warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religius dan penghargaan, tetapi cuma sekadar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.




Ciri khas suku Dayak


Bertelinga panjang dan tattoo di seluruh pergelangan tangan dan kaki adalah diri khas suku Dayak, namun seiring perkembangan jaman ciri ciri ini semakin memudar.

Penduduk Asli

Transportasi masyarakat

Salah satu jeram yg ada di Long Alango

Pondok diladang/kebun

Tanah Kelahiranku Long Alango

Long Alango adalah salah satu desa terpencil di kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia.

Keberadaan 11.000 hektar hutan hujan tropis sangat penting untuk warga di Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Kelestarian kawasan hutan yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati tersebut juga merupakan ”harga mati” bagi Kepala Adat Besar Hulu Bahau, Anyie Apuy.

Kalau hutan habis, manusia akan binasa,” kata Anyie Apuy, bapak dari 12 anak ini, saat ditemui di Samarinda, Kaltim. Pria veteran pejuang konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1963-1965 ini belum lama pulang dari Jakarta. Di Ibu Kota, dia menerima anugerah Kalpataru sebagai Perintis Lingkungan, pada 5 Juni 2009.

Anyie Apuy termasuk salah satu dari lima orang yang mendapat penghargaan serupa, yakni sebagai perintis lingkungan. Dia berhasil menjaga hutan adat atau tanah ulen Desa Long Alango seluas 11.000 ha. Hutan itu menjadi tempat belajar dan model pengelolaan berkelanjutan.

Mempertahankan hutan adat bagi Anyie Apuy adalah titah pewaris Apuy Njau, sang ayahanda. Warga setempat ikut membantu tugas itu lewat Badan Pengelola Tanah Ulen. Apa yang dilakukan Anyie Apuy kemudian ditiru oleh warga lima desa lainnya di Kecamatan Bahau Hulu, yakni Desa Apau Ping, Long Berini, Long Kemuat, Long Uli, dan Desa Long Tebulo.

Maka bisa dipastikan jika hutan di hulu Sungai Bahau itu masih lestari. Kawasan tersebut menjadi bagian dari Taman Nasional Kayan Mentarang seluas 1.360.500 ha, yang mempunyai dasar hukum surat penunjukan Menteri Kehutanan pada tahun 1996.

Hutan dalam kawasan yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia Timur, tersebut mengandung separuh dari 15.000 jenis tumbuhan di Kalimantan. Sekitar 6.000 jenis tumbuhan di antaranya tidak ditemukan di tempat lain.

Di pedalaman itu pula hidup 150 jenis mamalia dari 228 jenis mamalia Kalimantan, 18 jenis di antaranya juga tidak ditemukan di tempat lain. Para peneliti mengidentifikasi 310 jenis burung dari 361 jenis burung Kalimantan. Dari jumlah itu, 28 jenis yang tidak ditemukan di tempat lain malah terancam punah.

Pada tahun 1994 didirikan stasiun penelitian Lalut Birai di hutan adat Long Alango. Sejak itu, Lalut Birai ibarat menjadi laboratorium alam dan tempat bekerja para peneliti domestik, mancanegara, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pelestarian alam.

Kekayaan hutan hujan tropis Bahau Hulu memang bisa membuat siapa pun jatuh cinta, tak terkecuali penyanyi Agustinus Gusti Nugroho atau Nugie. Selama ini Nugie banyak membuat lagu yang liriknya berkisah tentang alam.

”Hutan tropis Bahau Hulu itu seperti karpet hijau yang tebal dan tiada habisnya dilihat dari pesawat,” kata Nugie di Long Alango pada 19 Mei 2009.

Begitu jatuh cintanya dia pada hutan desa tersebut, Nugie yang juga menjadi duta kehormatan WWF Indonesia itu spontan menciptakan lagu berjudul Long Alango.

Perjuangan

”Sebenarnya yang harus diberi Kalpataru itu adalah bapak saya,” kata Anyie Apuy yang mengenyam pendidikan sampai sekolah teknik setingkat sekolah menengah pertama (SMP) di Tanjungselor, Kabupaten Bulungan, Kaltim.

Anyie Apuy bercerita, sang ayah, Apuy Njau, selama hidupnya sangat setia menjaga hutan Long Alango. Apa pun yang berusaha mengusik dan mengambil hasil hutan itu pasti dia usir, dikenai denda adat, bahkan dibunuh.

”Bapak terpaksa membunuh karena cintanya pada hutan adat. Namun, dia malah dipenjara oleh Belanda di Batavia. Ini terjadi sebelum saya lahir,” kata Anyie Apuy.

Peristiwa menyedihkan itulah yang membuat Anyie Apuy bertekad meneruskan perjuangan Apuy Njau. Meskipun untuk itu dia harus mengalami tahun-tahun yang amat ”berat” di hutan. Bahkan, berkali-kali keselamatan diri dan keluarganya terancam. Kerap pula datang pengusaha mengiming-imingi kemewahan untuk dia dan keluarga asal mereka dapat membabat hutan adat Long Alango.

Sering juga Anyie Apuy mendengar dan berhadapan dengan warga yang juga diiming-imingi oleh sejumlah pihak agar memberontak lalu membabat hutan adat. Namun, pengaruh dan wibawa lelaki keturunan Dayak Kenyah ini cukup besar. Namanya harum sebagai bekas komandan gerilyawan pedalaman.

Ketika konfrontasi, cerita Anyie Apuy, dia terpaksa menghabisi delapan tentara Gurkha yang kondang sebagai serdadu profesional tetapi kejam. Mungkin karena itu dia lalu disegani.

Dengan senapan mesin dan AK-47, kelompok Anyie Apuy memerangi pasukan Malaysia yang didukung Inggris dari kawasan Batu Kalong. Mereka ikut bertempur bersama personel Batalyon Infanteri 503 Brawijaya dan Raiders 600 Tanjungpura.

Prihatin

Daerah Bahau Hulu memang dilimpahi kekayaan alam. Namun, kondisi itu berkebalikan dengan kehidupan manusianya. Sampai sekarang, 1.500 warga Bahau Hulu masih hidup dalam keterbatasan prasarana perhubungan, pendidikan, kesehatan, dan telekomuni- kasi.

Hanya Long Alango di Bahau Hulu yang bisa dijangkau lewat udara. Lima desa lainnya di daerah ini cuma bisa didatangi lewat sungai yang berjeram-jeram ganas.

Dengan pesawat yang hanya bisa mengangkut maksimal 290 kilogram atau empat orang, biaya sewa sekali terbang bisa mencapai hingga Rp 7 juta dari Kota Tarakan.

Kalau orang memilih angkutan lewat sungai pun diperlukan waktu perjalanan sampai tiga hari dari Samarinda. Ini pun dengan berganti-ganti angkutan mulai dari pesawat, mobil, sampai menggunakan perahu. Dengan cara ini pun, biaya perjalanan mencapai sekitar Rp 4 juta.

Di pundak warga pedalaman yang biasa hidup dalam kemahalan seperti Anyie Apuy itulah kita menaruh harapan agar hutan-hutan di beranda negara ini tetap lestari. Pada usianya yang senja, Anyie Apuy berharap generasi mendatang tetap setia menjaga hutan Kalimantan.









Rabu, 09 Juni 2010

"My Story"

This is my story...

Like Korean movies

Always ending sadly

So...Tragic


Like Adam and Hawa story

Always searching

Searching for soulmate

Searching for truelove


Will i get it?

My soulmate

Will i meet it?

My truelove


I'm sure i will

Just wait for the time

That time that's already decided by God...

Our God...